REVIEW MOVIE Captain Fantastic 2016
Jauh di dalam hutan dan terisolasi dari masyarakat luar, seorang ayah merawat dan membesarkan keenam anaknya untuk menjadi orang-orang yang luar biasa. Tetapi ketika suatu tragedi terjadi dalam keluarga, mereka harus meninggalkan surga buatan mereka dan menempuh perjalanan jauh. Persentuhan mereka semua dengan dunia luar mempertanyakan kembali pengalaman dan perjalanan yang mereka dapatkan selama ini.
Captain Fantastic adalah sebuah surat terbuka yang fantastis bagi masyarakat modern, tentang segala hal yang menjauhi hal-hal dasar dalam menjalani hidup. Termasuk di dalamnya kapitalisme, konsumerisme, sistem pendidikan, dan hal-hal lainnya. Idealisme ekstrim ini dibungkus dalam sebuah film yang ringan dan hangat. Film yang akan dengan mudah merangkul setiap penontonnya dengan lucunya tingkah polah anak-anak Ben yang menggemaskan.
Melihat Bodevan, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja, dan Nai banyak mengingatkan gue pada anak-anak dari keluarga Von Trapp. Setiap karakternya sangat lovable, dan ketika mereka bersatu untuk bernyanyi akan menjadi sama-sama menakjubkan. Selain itu, mereka juga sama-sama dididik dengan gaya yang tidak biasa dan unik. Mungkin memang sutradara dan penulis naskah Matt Ross memang memasukkan beberapa adegan yang memberikan nod pada The Sound of Music (1965). Salah satunya adalah memanggil anak-anak dengan bagpipe untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu tempat.
Kepolosan mereka berenam rasanya menjadi daya tarik utama tersendiri bagi gue. Kepolosan sekaligus kepintaran mereka dalam hal-hal dasar maupun filosofis, memang sangat mengagumkan dan termasuk logis. Kapan lagi anda bisa melihat anda umur 8 tahun bisa menjawab lebih - dan dalam kata-katanya sendiri - daripada anak usia sekolah menengah. Apalagi melihat pola asuh si ayah yang sangat mudah dalam memberikan sex education kepada anaknya yang masih berusia 8 tahun. Bersentuhannya mereka semua ke dunia luar, seakan paralel dengan Jack dan Ma dalam Room (2015). Namun secara atmosfer, film ini dikemas ringan dan kocak ditambah sedikit bumbu roadtrip macam Little Miss Sunshine (2006).
Yang menarik dari Captain Fantastic jelas adalah characters' journey. Sang ayah yang memang seseorang yang menolak peradaban modern dengan segala macam kapitalismenya. Anak-anak pun dididik secara home schooling dengan pembekalan pengetahuan, fisik, dan mental yang jelas jauh lebih baik dari anak-anak yang dididik secara konvensional. Namun ketika mereka semua bersentuhan dengan dunia luar, interaksinya pun menjadi menarik. Baik dari sisi ayah maupun anak-anak, masing-masing dari mereka mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Pada akhirnya, jelas diperlukan satu hal baik bagaimana pun gaya hidup diterapkan; kompromi terhadap dunia luar.
Kepiawaian Matt Ross dalam rapinya menulis naskah terlihat dari beberapa pilihan buku yang memang ditugaskan sang ayah untuk dibaca oleh anak-anaknya. Pendapat salah satu anaknya terhadap buku berjudul Lolita karangan Vladimir Nabokov tentang karakter utamanya Humbert, bisa dibilang menjadi deskripsi yang paralel dengan karakter sang ayah. Karakter Humbert dalam novel diceritakan sebagai seorang pemerkosa anak kecil, namun memiliki kecintaan yang indah dan mendalam terhadap korban. Sebuah hal yang memang tidak nyaman secara moral, tetapi memiliki keindahan tersendiri dalam sudut pandang yang berbeda.
Rasanya sudah terlalu lama kita tidak merasakan perasaan positif yang masih tersisa setelah menonton sebuah film. Sebuah after-taste yang indah dan mengagumkan. Apalagi ada beberapa adegan yang sangat ikonik, dan rasanya akan bertahan dalam waktu lama dalam ingatan kepala. Bagi gue pribadi, adegan penutupnya sangat indah dan berbicara tentang banyak hal yang telah diperlihatkan dalam 128 menit sebelumnya - meski tanpa dialog dan scoring.
film ini wajib di tonton bagaimana menggambarkan seserorang dalam merealisasikan idealisme terhadap keluarganya dari dunia luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar